Selasa, 13 Desember 2011

Studi Pustaka Bell's Palsy

Well guys, klo ada yg cari2 ttg Bell's palsy, nih ada bbrp, semoga membantu :

Definisi
Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah  (mononeuropati) yakni syaraf ke-7, Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat. Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan, kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tidak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak. Syaraf yang bekerjapada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Misalkan syaraf 1 untuk hidung, syaraf 1 untuk penglihatan, syaraf3-4-56- untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah. Syaraf ke-7 ini memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjgan dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisis wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkan rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi. Sejumlah keluhan bell’s palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya bell’s palsy tak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.


Bell’s palsy harus didefinisikan sebagai berikut: kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif, non-neoplastik, non- degenerative primer, namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramane tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam definisi tersebut, penekanan diadakan pada kejinakan penyakit dan pada proses edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stiloimastoideus, mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut “catch cold” oleh karena pada kebanyakan penderita dapat diperoleh data bahwa pareis fasialis timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah begadang. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Penulis pernah menjumpai bell’s palsy bilateral dengan 1 minggu selisih waktu dengan mulatimbulnya.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)


Anatomi dan fisiologi nervus fasialis
Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik.Serat-serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N. fasialis (N. VII) berasal dari korteks serebrum hingga nucleus N. fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsila interna  (sebagai traktus pontis) ke basis pedunkuli dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan bagian bawah wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua, terletak di lobus temporalis.
Serat-serat Lower Motor Neuron ( LMN ) berasal dari nucleus N,.VII ke bawah. Serabut N.fasialis meningggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke dalam Os petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini N. VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum. Yang menghantarkan impuls sekretomorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis sampai M. platisma. Serabut-serabut yang berkaitan degnan penutupan mata dan gerakan-gerakan volunteer wajah berasal dari 1/3 bagian bawah dari girus presentralis.





(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )



 
Vaskularisasi Nervus Fasialis
Dalam perjalanannya melalui os temporalis, saraf fasialis mendapatkan darah dari 3 arteri, yaituL
·         Arteri serebelli inferior anterior yang member perdarahan pada saraf fossa posterior. Cabang pembuluh darag ini, yaitu artei auditori interna, memebri darah pada nervus fasialis di dalam kanal auditori interna. Ujung dari cabang-cabang arteri ini memebrikan aliran darah pada saraf sampai ganglion genikulatim
·         Cabang petrosal dari arteria meningea media memasuki kanalis falopuu pada ganglion henikulatum dan bercabang menjadi cabang-cabang asendens dan desendens, Cabang descendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang ascendens member perdarahan daerah proksimal dari ganglion genikulatum.
·         Cabang stilomastoid daru arteria aurikularis posterior memasuki kanalis fasialis melalui foramen stilomastoideus dan segera bercabang menjadi cabang asendes dan desendens. Cabang asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum, cabang desendens member perdarahan pada saraf ke bawah foramen stilomastoideus dan bersamaan dengan nervus aurikularus posterior.

Etiologi
Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris cold, N. fasialis bisa sembab sehingga terhepit di dalam doramen stilomastoideum da menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron. Kelumpuhan tersebut dinamakan bell’s palsy. Walaupun etiologinya tidak diketahui, ada 4 teori yang diajukans ebagai sebab bell’s palsy, yaitu:
1.      Teori iskemik vaskuler
Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oelh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan meneka dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih  menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.
2.      Teori infeksi virus
Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan klinis BP sangat menyerupai  viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.
Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum. Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh ingeksi herpes simpleks yang laten. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, shingga terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat do sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternya beberapa studi prospektid untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus.
3.      Teori herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabakan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4.      Teori imunologi
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor .

Patogenesis
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma kompresis saraf fasialis atay sebagai suatu “entrapment syndrome
Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy, oleh George A. Gates, membagi pathogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:
1.      Tipe 1:
Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami kelumpuhan komplit. Pareis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik, Blok konduksi saraf yang reversibkel (neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasma pembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.
Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat
2.      Tipe 2:
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang mungkin akibat degenerasi sarafm sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi  “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan
3.      Tipe 3:
Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirintin dari nervus fasialis, Ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zoster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya, menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sell schwan menyebabkan peradangan, dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran saraf.

Patologi
Menurut Dachlan (2001) patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang menyebabkan bell’s palsy. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transfusi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus membengkak, nervus fasialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.

Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan volunteer seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zigomaticus dan ,m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagaian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:
a)      Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut: mulu tertarik ke sisi mulut yang sehatm, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b)      Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan salvias di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c)      Lesis yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam)
d)     Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin diatasm disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telingan dan di belakang telinga.
e)      Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan tumbulnya tuli sebagi akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.
f)       Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Tingkat Kelumpuhan Nervus Facialis
Untuk kelumpuhan nervus fasialis, umumnya digunakan 2 sistem grading, yaitu House-Brackmann Score dan  Yanagihara grading system (Y-system)
Grade
HBS
Y-system
Normal, fungsi pada semua area simetris
I
40
Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme
II
32-38
Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)
III
24-30
Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal, sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme
IV
16-22
Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak didapati.
V
8-14
Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme
VI
0-6
(sumber: http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-10.1007_s00405-008-0646-4-3)


Penatalaksanaan
Proteksi mata selama tidur, pemijatan pada otot yang melemah, dan splint  untuk mencegah jatuhnya bagian bawah wajah adalah hal-hal yang umunya dilakukan pada manajemen kasus ini. Belum ada bukti bahwa penanganan dengan pembedahan efektif pada kasus ini, dan dapat menimbulkan gangguan. Umumnya diberikan prednisone (40 sampai 60mg/hari atau kortikosteroid lain) selama minggu pertama sampai 10 hari setelah onset terbukti bermanfaat pada berbagai percobaan, medikasi ini diberiikan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan cacat permanen dari pembengkakan nervus pada canalis fasialis yang sempit. Penemuan dari genome virus pada sekitar nervus ketujuah menandakan bahwa senyawa antivirus mungkin bisa berguna dalam manajemen bell’s palsy. Namun dalam beberapa percobaan, penggunaan hanya acyclovir tidak lebih baik dari penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kedua tipe obat secara bersamaanpun masih dalam penelitian. Sebuah laporan retrospektif mengindikasikan bahwa outcome  pada 94 pasien yang diberikan kombinasi acyclovir dan prednisolone lebih baik daripada pasien hanya dengan prednisolone. Data-data ini membuktikan bahwa penelitian tentang manfaat kombinasi obat pada kasus ini layak untuk dilakukan. Tetap dibutuhkan penelitian tentang penyebab virus yang membutuhkan terapi alternative, dan penanganan facial palsy yang disebabkan oleh VZV (Ramsay Hunt Syndrome).
(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )

Bell’s palsy diobati sebagai kasus neuritis. Dalam tahap akut, kortikosteroid dapat digunakan. Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatansia pe os dengan ACTH i.m. 40 sampai 60 satuan /hari selama 2 minggu dapat mempercepat penyembuhan. Setelah 1 minggu, otot-oto yang lumpuh boleh dirangsang secara galvanic. Mengenai stimulasi listrik ini, banyak autoritas yang meragukan manfaatnya, bahkan berpendapat kontraktur sebagai gejala sisa, dapat diakibatkan oelh galvanisasi.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)

Prognosis
80% dari pasien sembuh dalam sebulan atau 2 bulan. Kesembuhan pada indra perasa menandakan mulainya kesembuhan pada fungsi motorik, bila terjadi pada minggu pertama, ini adalah tanda prognosis baik. Penyembuhan yang cepat pada fungsi motorik pada 5-7 hari memiliki prognosis yang paling baik. Elektromyografi bisa digunakan untuk mencari apakah ada  defek konduksi karena interupsi patologis pada serabut saraf ; jika terdapat bukti dari denervesi setelah 10 hari, maka umumnya kesembuhan akan memakan waktu yang jauh lebih panjang, dalam hitungan bulan, kesembuhan lalu berlanjut ke regenerasi saraf, yang akan membutuhkan kira-kira hingga 2 tahun atau lebih dan umumnya tidak sempurna.
(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )

hahaha, ini dibuat kira2 2 jam, soalnya gw lupa klo ada tugas ini coba, ahahahaha, deadlineny malam ini, ya gw ngebut abis ngetikny, Hope can be useful .....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar