Well guys, klo ada yg cari2 ttg Bell's palsy, nih ada bbrp, semoga membantu :
Definisi
Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan
salah satu syaraf wajah (mononeuropati)
yakni syaraf ke-7, Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7,
bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat. Berbeda
dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah.
Bukan kelumpuhan separuh bagian badan, kelumpuhan ini terjadi akibat adanya
himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tidak bisa menyampaikan
impuls dari pusat syaraf pada batang otak. Syaraf yang bekerjapada wajah
sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi
yang berbeda. Misalkan syaraf 1 untuk hidung, syaraf 1 untuk penglihatan,
syaraf3-4-56- untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan
syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah. Syaraf ke-7 ini memiliki keistimewaan,
terdapat serabut panjgan dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di
bawah telinga menuju sisis wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini
menyebabkan rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan
menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi. Sejumlah keluhan bell’s
palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya bell’s palsy tak
disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah
dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun karena terjadi kekakuan pada otot wajah,
penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.
Bell’s palsy harus didefinisikan sebagai berikut:
kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif, non-neoplastik, non-
degenerative primer, namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramane
tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam
definisi tersebut, penekanan diadakan pada kejinakan penyakit dan pada proses
edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stiloimastoideus, mungkin
sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut “catch cold” oleh karena pada kebanyakan
penderita dapat diperoleh data bahwa pareis fasialis timbul setelah duduk di
mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah begadang. Bell’s
palsy hampir selalu unilateral. Penulis pernah menjumpai bell’s palsy bilateral
dengan 1 minggu selisih waktu dengan mulatimbulnya.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)
Anatomi
dan fisiologi nervus fasialis
Nervus facialis
bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik.Serat-serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N.
fasialis (N. VII) berasal dari korteks serebrum hingga nucleus N. fasialis.
Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis,
serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsila interna (sebagai traktus pontis) ke basis pedunkuli
dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi
bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan bagian bawah wajah
berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua, terletak di
lobus temporalis.
Serat-serat Lower Motor Neuron ( LMN ) berasal dari
nucleus N,.VII ke bawah. Serabut N.fasialis meningggalkan batang otak bersama
N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke dalam Os petrosum melalui meatus
akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan ganglion
genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion
ini N. VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum. Yang
menghantarkan impuls sekretomorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar
lakrimalis. N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoidium
memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis
sampai M. platisma. Serabut-serabut yang berkaitan degnan penutupan mata
dan gerakan-gerakan volunteer wajah berasal dari 1/3 bagian bawah dari girus
presentralis.
(sumber: Ropper, Allan H. Robert H Brown. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )
Vaskularisasi
Nervus Fasialis
Dalam perjalanannya melalui os temporalis, saraf
fasialis mendapatkan darah dari 3 arteri, yaituL
·
Arteri serebelli inferior anterior yang
member perdarahan pada saraf fossa posterior. Cabang pembuluh darag ini, yaitu
artei auditori interna, memebri darah pada nervus fasialis di dalam kanal
auditori interna. Ujung dari cabang-cabang arteri ini memebrikan aliran darah
pada saraf sampai ganglion genikulatim
·
Cabang petrosal dari arteria meningea
media memasuki kanalis falopuu pada ganglion henikulatum dan bercabang menjadi
cabang-cabang asendens dan desendens, Cabang descendens berjalan ke distal
bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang ascendens member
perdarahan daerah proksimal dari ganglion genikulatum.
·
Cabang stilomastoid daru arteria
aurikularis posterior memasuki kanalis fasialis melalui foramen stilomastoideus
dan segera bercabang menjadi cabang asendes dan desendens. Cabang asendens
berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum, cabang
desendens member perdarahan pada saraf ke bawah foramen stilomastoideus dan
bersamaan dengan nervus aurikularus posterior.
Etiologi
Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk
angin” atau dalam bahasa inggris cold,
N. fasialis bisa sembab sehingga terhepit di dalam doramen stilomastoideum da
menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron. Kelumpuhan tersebut
dinamakan bell’s palsy. Walaupun etiologinya tidak diketahui, ada 4 teori yang
diajukans ebagai sebab bell’s palsy, yaitu:
1. Teori
iskemik vaskuler
Teori ini sangat popular, dan
banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini
terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi
arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oelh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat
terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan meneka dinding kapiler
limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan
akan lebih menekan kapiler dan vena
dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi
keadaan circulus vitiosus. Pada
kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan
kontinuitas yang terputus.
2. Teori
infeksi virus
Menurut teori ini bell’s palsy
disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya riwayat
penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan
klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer
lainnya.
Walaupun etiologi dari Bell’s palsy
tidak diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang
melibatkan ganglion genikulatum. Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s
palsy disebabkan oleh ingeksi herpes simpleks yang laten. Teori virus ini
didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi
dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks
tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris.
Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, shingga terjadi
neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour, lokasi
nyeri dapat do sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat
bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen
stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternya beberapa studi
prospektid untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s
palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus.
3. Teori
herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6%
penderita bell’s palsy yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Ini
mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga
tersebut sehingga menyebabakan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori
imunologi
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat
reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah
pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan
pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di
dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor .
Patogenesis
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas
gejala klinik bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII.
Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma kompresis saraf fasialis atay sebagai
suatu “entrapment syndrome”
Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang
pathogenesis Bell’s palsy, oleh George A. Gates, membagi pathogenesis menjadi 3
tipe, yaitu:
1. Tipe
1:
Pada tipe 1 mengalami paresis
ringan dan sebagian besar mengalami kelumpuhan komplit. Pareis maupun paralisis
ini dapat mengalami penyembuhan yang baik, Blok konduksi saraf yang reversibkel
(neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di
sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasma pembuluh darah, namun teori ini
belum dapat dibuktikan.
Teori lain yang menjelaskan adanya
kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan
masuk ke dalam jaringan sekitarnya. bila cairan ini terkumpul di dalam
endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat
2. Tipe
2:
Pada tipe ini ditandai dengan
timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang mungkin akibat degenerasi sarafm
sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat menyebar ke akson
yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A. Gates
menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi “saltatory
movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin
sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat
bersamaan
3. Tipe
3:
Pada tipe ini penyebabnya dimulai
dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen
labirintin dari nervus fasialis, Ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan
oleh virus zoster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior
lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani, saraf akustik dan
vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis
dan degenerasi.
Menurut Adour dkk, yang dikenal
dengan konsep teori virusnya, menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada
sell schwan menyebabkan peradangan, dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan
protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran
saraf.
Patologi
Menurut Dachlan (2001) patologi
berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut.
Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang
menyebabkan bell’s palsy. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari
pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transfusi dan
mengakibatkan foramen stilomastoideus membengkak, nervus fasialis yang melewati
daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang
menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala motorik yang
dijumpai pada pasien Bell’s palsy adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi
wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan volunteer
seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan
menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong),
sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot
yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m.
zigomaticus dan ,m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan
pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagaian
pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya.
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s
Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:
a) Lesi
di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut: mulu
tertarik ke sisi mulut yang sehatm, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi,
sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata
pada sisi lesi tidak tertutup, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus.
b) Lesi
di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama
seperti penjelasan pada poin di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan salvias di sisi lesi berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana
korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c) Lesis
yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan
gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya
hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam)
d) Lesi
yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga
poin diatasm disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telingan dan
di belakang telinga.
e) Lesi
di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada
ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan tumbulnya tuli sebagi akibat
terlibatnya nervus vestibulocochlearis.
f) Lesi
di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di
atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens,
nervus vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.
Tingkat
Kelumpuhan Nervus Facialis
Untuk kelumpuhan nervus fasialis, umumnya digunakan
2 sistem grading, yaitu House-Brackmann
Score dan Yanagihara grading system
(Y-system)
Grade
|
HBS
|
Y-system
|
Normal,
fungsi pada semua area simetris
|
I
|
40
|
Sedikit
kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan penuh dengan sedikit
usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan usaha maksimal, sedikit
sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme
|
II
|
32-38
|
Kelemahan
yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara statis, tidak mampu
mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak
simetris pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun
tidak terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)
|
III
|
24-30
|
Kelemahan
yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan menggangkat alis,
penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal,
sinkinesis yang parah, mass movement,
dan spasme
|
IV
|
16-22
|
Hanya
sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang tidak penuh,
sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur, namun spasme
umumnya tidak didapati.
|
V
|
8-14
|
Tidak
ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme
|
VI
|
0-6
|
(sumber: http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-10.1007_s00405-008-0646-4-3)
Penatalaksanaan
Proteksi mata selama
tidur, pemijatan pada otot yang melemah, dan splint untuk mencegah
jatuhnya bagian bawah wajah adalah hal-hal yang umunya dilakukan pada manajemen kasus ini. Belum
ada bukti bahwa penanganan dengan pembedahan efektif pada kasus ini, dan dapat
menimbulkan gangguan. Umumnya diberikan prednisone (40 sampai 60mg/hari atau
kortikosteroid lain) selama minggu pertama sampai 10 hari setelah onset
terbukti bermanfaat pada berbagai percobaan, medikasi ini diberiikan dengan
tujuan untuk mengurangi kemungkinan cacat permanen dari pembengkakan nervus
pada canalis fasialis yang sempit. Penemuan dari genome virus pada sekitar
nervus ketujuah menandakan bahwa senyawa antivirus mungkin bisa berguna dalam
manajemen bell’s palsy. Namun dalam beberapa percobaan, penggunaan hanya
acyclovir tidak lebih baik dari penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kedua
tipe obat secara bersamaanpun masih dalam penelitian. Sebuah laporan
retrospektif mengindikasikan bahwa outcome pada 94 pasien yang diberikan kombinasi
acyclovir dan prednisolone lebih baik daripada pasien hanya dengan
prednisolone. Data-data ini membuktikan bahwa penelitian tentang manfaat
kombinasi obat pada kasus ini layak untuk dilakukan. Tetap dibutuhkan
penelitian tentang penyebab virus yang membutuhkan terapi alternative, dan
penanganan facial palsy yang disebabkan oleh VZV (Ramsay Hunt Syndrome).
(sumber:
Ropper, Allan H. Robert H Brown.
2005. Adams and Victor’s
Principles of Neurology 8th edition. United States of America :
The McGraw-Hill Companies )
Bell’s palsy diobati
sebagai kasus neuritis. Dalam tahap akut, kortikosteroid dapat digunakan.
Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatansia pe os dengan ACTH
i.m. 40 sampai 60 satuan /hari selama 2 minggu dapat mempercepat penyembuhan.
Setelah 1 minggu, otot-oto yang lumpuh boleh dirangsang secara galvanic.
Mengenai stimulasi listrik ini, banyak autoritas yang meragukan manfaatnya,
bahkan berpendapat kontraktur sebagai gejala sisa, dapat diakibatkan oelh
galvanisasi.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)
Prognosis
80% dari pasien sembuh dalam sebulan atau 2 bulan.
Kesembuhan pada indra perasa menandakan mulainya kesembuhan pada fungsi
motorik, bila terjadi pada minggu pertama, ini adalah tanda prognosis baik.
Penyembuhan yang cepat pada fungsi motorik pada 5-7 hari memiliki prognosis
yang paling baik. Elektromyografi bisa digunakan untuk mencari apakah ada defek konduksi karena interupsi patologis
pada serabut saraf ; jika terdapat bukti dari denervesi setelah 10 hari, maka
umumnya kesembuhan akan memakan waktu yang jauh lebih panjang, dalam hitungan
bulan, kesembuhan lalu berlanjut ke regenerasi saraf, yang akan membutuhkan
kira-kira hingga 2 tahun atau lebih dan umumnya tidak sempurna.
(sumber:
Ropper, Allan H. Robert H Brown.
2005. Adams and Victor’s
Principles of Neurology 8th edition. United States of America :
The McGraw-Hill Companies )
hahaha, ini dibuat kira2 2 jam, soalnya gw lupa klo ada tugas ini coba, ahahahaha, deadlineny malam ini, ya gw ngebut abis ngetikny, Hope can be useful .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar