Selasa, 13 Desember 2011

Multiple Sclerosis: Diagnosis, Managemen, dan Prognosis



ini tugas inhal gw nih, sedih, kena inhal terus, tapi tambah ilmu juga sih, haha, cekidot 
Multiple Sclerosis: Diagnosis, Managemen, dan Prognosis

Multiple Sclerosis adalah suatu kelainan multifocal pada system saraf pusat, yang ditandai oleh lesi demyelinasi inflammatory, yang menyerang baik substansia alba dan substansia griscea, yang diduga dimediasi oleh autoreactive T cells. Selain demyelinasi, dapat juga menimbulkan kerusakan akson yang irreversible. Pada akumulasi kerusakan dari system saraf pusat, dapat terjadi kelumpuhan irreversible yang menandai fase lanjutan pada penyakit. Multiple Sclerosis dapat disebabkan oleh berbagai interaksi lingkungan dan faktor genetic, faktor-faktor lingkungan, seperti tempat tinggal pada usia dewasa muda, umur terpapar oleh Epstein-Barr virus (semakin tua semakin besar tingkat insidensi MS), dan merokok, hingga kini telah ditemukan 52 alel yang dicurigai beresiko untuk membangkitkan MS, namun yang diduga memiliki korelasi paling tinggi adalah HLA-DRB1.
Delapan puluh lima penderita MS menderita gangguan persyarafan (neurogical disturbance) pada awal kejadian MS,  yang semakin memburuk dalam hitungan hari atau minggu, hal ini dikenal sebagai ‘Clinically Isolated Syndrom ‘(CIS) atau ‘first demyelinating event’, umumnya penderita merasakan adanya gangguan fungsi saraf pada salah satu bagian, sebagian besar mengalami Long tract syndrome and sign (baik secara sensorik atau motorik), selain itu dapat pula terjadi secara multifocal. 
 

Tahap setelah terjadinya CIS, dalam hitungan hari atau minggu, penderita akan memulai fase dimana terjadi relaps dan remisi, yang disebut juga ‘Relapsing Remitting MS’ (RRMS). Disebut relaps apabila terjadi gejala atau tanda objektif dari kejadian acute inflammatory demyelinating atau CIS yang terulang selama kurun waktu 24 jam. Dapat saja terjadi ,tanpa menimbulkan kerusakan, namun gejala dan tanda residual terjadi hingga 40% kasus. Peningkatan yang signifikan pada kelumpuhan oleh karena hanya satu relaps sangat jarang.
Setelah 10 tahun, 40-45% dari pasien dengan RRMS, akan mengalami proses lanjutan, dimana terjadi akumulasi kerusakan system saraf tanpa adanya relaps, yang disebut secondary progressive MS (SPMS) . Kemungkinan kerusakan yang menimbulkan efek permanen meningkat hingga 80%, dalam fase ini dapat ditemukan perkembangan berbentuk plateau (mendatar = keadaan tetap), dan perbaikan minor, namun,pada sebagian besar kasus, terjadi progresi dari kelumpuhan saraf.
Lima belas, hingga 20% dari pasien akan mengalami jalur progresif langsung sejak onset, tanpa mengalamin relaps maupun remisi, yang disebut juga Primary progreesive MS (PPMS). Penampakan umum dari PPMS adalah pareparesis spastic yang progresinya lambat, diikuti dengan gejala kerusakan cerebellum atau sindrom hemiplegic, penderita pada fase ini tidak merespon pengobatan yang diberikan pada umumnya.
Pemeriksaan penunjang MS umumnya dilakukan dengan MRI, pemeriksaan cairan cerebrospinal dan pemeriksaan gelombang otak, dan hanya bisa dipastikan secara histopatologi, tapi biopsy dalam diagnosis MS sangat jarang dilakukan, karena itu, sekarang hasil dari MRI sudah dapat diterima untuk mendiagnosis MS (jika ditemukan lesi multifocal). Pada kenyataannya, hasil pemeriksaan lain masih menjadi pertimbangan hasil MRI, misalnya bila dari pemeriksaan LCS ditemukan hasil negative, maka dalam penanganannya harus dipertimbangkan diagnosis banding. Diagnosis banding (differential diagnosis) yang paling membingungkan dalam kasus mirip MS adalah penyakit dengan demyelinasi, seperti neuromyelitis optica (penyakit Devic) dan acute disseminated encephalomyelitis. Selain itu differential diagnosis lain yang penting adalah migraine, neoplasma otak besar, kekurangan nutrisi, lesi menekan pada medulla spinalis, indeksi, amyotrophic lateral sclerosis, steroid sensitive relapsing disorders, infark recurrent , sindrom paraneoplastik, dan penyakit psychiatric.
Penanganan utama pada keadaan RRMS adalah interferon-ß dan glatiramer acetate, yang terbukti dapat mengurangi jumlah lesi aktif pada MS (hasil melalui MRI). Selain itu natalizumab telah terbukti dapat menurunkan kemungkinan dari memburuknya kelumpuhan, mengurangi angka kambuh tahunan (annual relapse rate) dan jumlah lesi baru pada sitem syaraf pusat, digunakan sebagai pengobatan garis kedua  (second line treatment), selain itu terdapat juga obat oral untuk penanganan MS yaitu fingolimod, laquinimod, teriflunomide dan BG12, yang masih dalam tahap penelitian preklinik, karena efek pengobatan jangka panjangnya dan kegunaannya masih belum dapat dipastikan.  Pada pasien dengan penyakit yang sudah lanjut dan tidak merespon pengobatan, pilihan obat garis ketiga dapat dipakai, yang terdiri dari immunosupresi dengan cyclophosphamide atau mitoxantrone, atau dosis tinggi kemoterapi, diikuti dengan transplantasi stem sel autologos hematopoetik, penggunaan dari strategi pengobatan ini terbatas karena toleransi yang rendah dan berpotensi menyebabkan efek samping yang serius.
Prognosi dari pasien dengan kelumpuhan parah setelah 5 tahun pertama semenjak onset kurang dari 5%, dan 10-20% persen tetap tidak mengalami kekurangan setelah 20 tahun tanpa terapi, pada era pre-MDT, median dari waktu onset hingga membutuhkan tongkat, status tidak bisa bangun (bedbound) dan kematian, kira-kira 15, 26, dan 41 tahun. Pada PMS dan bentuk lanjutan lain dari MS, median dari waktu onset hingga mencapai kelumpuhan irreversible secara signifikan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan RRMS, kebanyakan pasien sudah mencapai tingkat kelumpuhan awal atau menengah saat waktu didiagnosis. Kecacatan kognitif terjadi pada hampir semua tingkat dan tipe MS, semakin parah tingkatnya, maka kecacatan kognitifnya juga semakin parah, hal ini biasa ditandai dengan pengurangan kecepatan berpikir, memory, dan kemampuan memutuskan, hal ini sering mempengaruhi kemampuan bekerja dari pasien, jadi, walaupun kelumpuhannya tergolong rendah, namun hal-hal seperti ini dapat mempengaruhi kehidupan pasien ke depannya secara signifikan. 

sumber:
Multiple sclerosis: Diagnosis, Management and Prognosis, oleh Benjamin K-T Tsang, dan Richard Macdonell, dari Australian Family Physician Vol. 40, No. 12, December 2011(via pubmed)
EH Tau ga sih, pas gw baca ini, gw langsung parno, gw kena ga ya MS ini, arghhh #galauanakFK

Studi Pustaka Bell's Palsy

Well guys, klo ada yg cari2 ttg Bell's palsy, nih ada bbrp, semoga membantu :

Definisi
Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah  (mononeuropati) yakni syaraf ke-7, Kelumpuhan ini murni disebabkan jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau tersumbat. Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan, kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tidak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak. Syaraf yang bekerjapada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Misalkan syaraf 1 untuk hidung, syaraf 1 untuk penglihatan, syaraf3-4-56- untuk gerakan bola mata, syaraf 5 untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah. Syaraf ke-7 ini memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjgan dari dalam tempurung kepala keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisis wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkan rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi. Sejumlah keluhan bell’s palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya bell’s palsy tak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan 7. Namun karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.


Bell’s palsy harus didefinisikan sebagai berikut: kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif, non-neoplastik, non- degenerative primer, namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramane tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam definisi tersebut, penekanan diadakan pada kejinakan penyakit dan pada proses edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stiloimastoideus, mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut “catch cold” oleh karena pada kebanyakan penderita dapat diperoleh data bahwa pareis fasialis timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah begadang. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Penulis pernah menjumpai bell’s palsy bilateral dengan 1 minggu selisih waktu dengan mulatimbulnya.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)


Anatomi dan fisiologi nervus fasialis
Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik.Serat-serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N. fasialis (N. VII) berasal dari korteks serebrum hingga nucleus N. fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsila interna  (sebagai traktus pontis) ke basis pedunkuli dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan bagian bawah wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua, terletak di lobus temporalis.
Serat-serat Lower Motor Neuron ( LMN ) berasal dari nucleus N,.VII ke bawah. Serabut N.fasialis meningggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke dalam Os petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini N. VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum. Yang menghantarkan impuls sekretomorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis sampai M. platisma. Serabut-serabut yang berkaitan degnan penutupan mata dan gerakan-gerakan volunteer wajah berasal dari 1/3 bagian bawah dari girus presentralis.





(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )



 
Vaskularisasi Nervus Fasialis
Dalam perjalanannya melalui os temporalis, saraf fasialis mendapatkan darah dari 3 arteri, yaituL
·         Arteri serebelli inferior anterior yang member perdarahan pada saraf fossa posterior. Cabang pembuluh darag ini, yaitu artei auditori interna, memebri darah pada nervus fasialis di dalam kanal auditori interna. Ujung dari cabang-cabang arteri ini memebrikan aliran darah pada saraf sampai ganglion genikulatim
·         Cabang petrosal dari arteria meningea media memasuki kanalis falopuu pada ganglion henikulatum dan bercabang menjadi cabang-cabang asendens dan desendens, Cabang descendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang ascendens member perdarahan daerah proksimal dari ganglion genikulatum.
·         Cabang stilomastoid daru arteria aurikularis posterior memasuki kanalis fasialis melalui foramen stilomastoideus dan segera bercabang menjadi cabang asendes dan desendens. Cabang asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum, cabang desendens member perdarahan pada saraf ke bawah foramen stilomastoideus dan bersamaan dengan nervus aurikularus posterior.

Etiologi
Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris cold, N. fasialis bisa sembab sehingga terhepit di dalam doramen stilomastoideum da menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron. Kelumpuhan tersebut dinamakan bell’s palsy. Walaupun etiologinya tidak diketahui, ada 4 teori yang diajukans ebagai sebab bell’s palsy, yaitu:
1.      Teori iskemik vaskuler
Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oelh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan meneka dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih  menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.
2.      Teori infeksi virus
Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan klinis BP sangat menyerupai  viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.
Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum. Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh ingeksi herpes simpleks yang laten. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, shingga terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat do sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternya beberapa studi prospektid untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus.
3.      Teori herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabakan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4.      Teori imunologi
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor .

Patogenesis
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma kompresis saraf fasialis atay sebagai suatu “entrapment syndrome
Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy, oleh George A. Gates, membagi pathogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:
1.      Tipe 1:
Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami kelumpuhan komplit. Pareis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik, Blok konduksi saraf yang reversibkel (neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasma pembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.
Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat
2.      Tipe 2:
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang mungkin akibat degenerasi sarafm sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi  “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan
3.      Tipe 3:
Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirintin dari nervus fasialis, Ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zoster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya, menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sell schwan menyebabkan peradangan, dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran saraf.

Patologi
Menurut Dachlan (2001) patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara dingin yang menyebabkan bell’s palsy. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transfusi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus membengkak, nervus fasialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.

Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy adalah: adanya kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan volunteer seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zigomaticus dan ,m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagaian pasien mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:
a)      Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut: mulu tertarik ke sisi mulut yang sehatm, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup, atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b)      Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan salvias di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c)      Lesis yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam)
d)     Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin diatasm disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telingan dan di belakang telinga.
e)      Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan tumbulnya tuli sebagi akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.
f)       Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Tingkat Kelumpuhan Nervus Facialis
Untuk kelumpuhan nervus fasialis, umumnya digunakan 2 sistem grading, yaitu House-Brackmann Score dan  Yanagihara grading system (Y-system)
Grade
HBS
Y-system
Normal, fungsi pada semua area simetris
I
40
Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme
II
32-38
Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)
III
24-30
Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal, sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme
IV
16-22
Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak didapati.
V
8-14
Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme
VI
0-6
(sumber: http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-10.1007_s00405-008-0646-4-3)


Penatalaksanaan
Proteksi mata selama tidur, pemijatan pada otot yang melemah, dan splint  untuk mencegah jatuhnya bagian bawah wajah adalah hal-hal yang umunya dilakukan pada manajemen kasus ini. Belum ada bukti bahwa penanganan dengan pembedahan efektif pada kasus ini, dan dapat menimbulkan gangguan. Umumnya diberikan prednisone (40 sampai 60mg/hari atau kortikosteroid lain) selama minggu pertama sampai 10 hari setelah onset terbukti bermanfaat pada berbagai percobaan, medikasi ini diberiikan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan cacat permanen dari pembengkakan nervus pada canalis fasialis yang sempit. Penemuan dari genome virus pada sekitar nervus ketujuah menandakan bahwa senyawa antivirus mungkin bisa berguna dalam manajemen bell’s palsy. Namun dalam beberapa percobaan, penggunaan hanya acyclovir tidak lebih baik dari penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kedua tipe obat secara bersamaanpun masih dalam penelitian. Sebuah laporan retrospektif mengindikasikan bahwa outcome  pada 94 pasien yang diberikan kombinasi acyclovir dan prednisolone lebih baik daripada pasien hanya dengan prednisolone. Data-data ini membuktikan bahwa penelitian tentang manfaat kombinasi obat pada kasus ini layak untuk dilakukan. Tetap dibutuhkan penelitian tentang penyebab virus yang membutuhkan terapi alternative, dan penanganan facial palsy yang disebabkan oleh VZV (Ramsay Hunt Syndrome).
(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )

Bell’s palsy diobati sebagai kasus neuritis. Dalam tahap akut, kortikosteroid dapat digunakan. Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatansia pe os dengan ACTH i.m. 40 sampai 60 satuan /hari selama 2 minggu dapat mempercepat penyembuhan. Setelah 1 minggu, otot-oto yang lumpuh boleh dirangsang secara galvanic. Mengenai stimulasi listrik ini, banyak autoritas yang meragukan manfaatnya, bahkan berpendapat kontraktur sebagai gejala sisa, dapat diakibatkan oelh galvanisasi.
(Sidharta, P.2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat)

Prognosis
80% dari pasien sembuh dalam sebulan atau 2 bulan. Kesembuhan pada indra perasa menandakan mulainya kesembuhan pada fungsi motorik, bila terjadi pada minggu pertama, ini adalah tanda prognosis baik. Penyembuhan yang cepat pada fungsi motorik pada 5-7 hari memiliki prognosis yang paling baik. Elektromyografi bisa digunakan untuk mencari apakah ada  defek konduksi karena interupsi patologis pada serabut saraf ; jika terdapat bukti dari denervesi setelah 10 hari, maka umumnya kesembuhan akan memakan waktu yang jauh lebih panjang, dalam hitungan bulan, kesembuhan lalu berlanjut ke regenerasi saraf, yang akan membutuhkan kira-kira hingga 2 tahun atau lebih dan umumnya tidak sempurna.
(sumber:  Ropper, Allan H. Robert H Brown.  2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )

hahaha, ini dibuat kira2 2 jam, soalnya gw lupa klo ada tugas ini coba, ahahahaha, deadlineny malam ini, ya gw ngebut abis ngetikny, Hope can be useful .....




Minggu, 19 Desember 2010

Tugas Farmako!! EKSKRESI DAN ABSORBSI

1. susah ngambar, post foto saya aja yah....

2. penyakit-penyakit yang dapat mengganggu proses metabolisme obat:
  • SIROSIS = pada penderita sirosis, respon terhadap obat klosamfenikol berubah dengan peningkatan, toksisitas pada sistem saraf pusat, karena metabolisme obat berkurang dan kadar obat dalam plasma meningkat.
  • Hepatitis viral akut = menyababkan respon terhadap ergotamin, dengan menurunnya metabolisme obat. Karena ergotamin adalah alkaloid yang paling toksik, maka perubahan respon terhadap obat ini menyebabkan peningkatan toksisitas
  • Disfungsi hati : dpt meningkatkan toksisistas obat-obatan karena proses metabolisme menurun, menyebabkan kadar obat dalam plasma meningkat. Toksisitas yang terjadi adalah pada sistem syaraf pusat. Misalnya adalah perubahan respon terhadap fenitoin (hehe, ga jelas tulisannya)
  • Penyakit hati berat : kerusakan pada hati menyebabkan metabolisme obat dalam tubuh menurun dan banyak peningkatan kadar obat di dalam plasma dan menyebabkan toksisitas bila kadarnya melabihi batas normal, contohnya adalah androgen, steroid anabolik, dan klomifen. Penyakit hari berat menyebabkan perubahan respon dengan menurunnya efek utama obat dan menyebabkan toksisitas. Selain itu penyakit hati berat dapat menyebabkan peningkatan sensitivitas reseptor di otak yang mendepresi syaraf pusat diuretik.
  • Gagal ginjal : gagal ginjal dapat menyebabkan pengurangan ikatan protein plasma sehingga meningkatkan kadar obat bebas dalam darah, mengubah keseimbangan elektrolit dan asam - basa , meningkatkan sensitivitas, atau respon jaringan terhadap beberapa obat, dan mengurangi atau menghilangkan efektivitas beberapa obat.

posyandu bahagia 2





untuk mendownload semuanya dari yg pertama klik:

Minggu, 12 Desember 2010

Posyandu bahagia

Foto by ketubans (kelompok tutorial sembilan belas)







laporan tutorial marasmus, skenario 1 blok 4

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kasus gizi buruk saat ini menjadi masalah yang menjadi perhatian di Indonesia. Gizi kurang dan gizi buruk merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian, karena dapat menimbulkan the lost generation. Kualitas bangsa di masa depan akan sangat dipengaruhi keadaan atau status gizi pada saat ini, terutama balita. Akibat gizi buruk dan gizi kurang bagi seseorang akan mempengaruhi kualitas kehidupannya kelak.

Berikut ini adalah kasus pada skenario 1:

Bayi kok seperti orang tua?
Seorang anak laki-laki umur 1 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan badan lemah dan kurus. Ibunya mengatakan bahwa anak tersebut sering muntah. Anak itu tidak mendapatkan ASI sejak umur 7 bulan karena tak keluar, dan sebagai pengganti ASI diberikan air tajin. Pernah mendapatkan sumbangan susu formula tetapi setelah diberikan anaknya malah diare.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 5.900 gram. Berat lahir tidak diketahui karena persalinan ditolong dukun. Badan kurus, tulang nampak menonjol, wajah seperti orang tua, rambut hitam tipis mudah rontok, nampak cengeng dan belum dapat tengkurap. Disarankan untuk dirujuk kerumah sakit yang lebih besar. Apa masalah yang ada pada anak tersebut? Bagaimana penatalaksanaannya?

B.    Rumusan Masalah
1.    Ketentuan pemberian ASI.
2.    Bayi diare setelah diberikan susu formula.
3.    Badan kurus, tulang tampak menonjol, wajah seperti orang tua, rambut hitam tipis mudah rontok, nampak cengeng dan belum dapat tengkurap.
4.    Keluhan badan lemah, kurus, sering muntah, tidak mendapat ASI sejak umur 7 bulan karena tidak keluar, dan diberi air tajin sebagai pengganti.
5.    Diagnosis banding dan penatalaksanaan.


C.    Tujuan
1.    Mengetahui ketentuan ideal pemberian ASI eksklusif.
2.    Mengetahui penyebab dan mekanisme terjadinya diare setelah pemberian susu foermula pada bayi.
3.    Mengetahui penyebab badan kurus, tulang tampak menonjol, wajah seperti orang tua, rambut hitam tipis mudah rontok, nampak cengeng dan belum dapat tengkurap.
4.    Mengetahui faktor-faktor penyebab malnutrisi.
5.    Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan kasus pada skenario.

D.    Manfaat
1.    Mahasiswa mengetahui indikasi kekurangan gizi dan cara-cara mencegahnya.
2.    Mahasiswa memahami pentingnya gizi dalam mencegah kelainan malnutrisi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Marasmus
    Marasmus adalah bentuk malnutrisi energi protein yang terutama disebabkan oleh kekurangan kalori berat dalam jangka lama, umumnya selama tahun pertama kehidupan, dengan retardasi pertumbuhan dan penlisutan lemak di bawah kulit dan otot secara progresif, tetapi biasanya masih ada nafsu makan dan kesiagaan mental. Penyakit infeksius mungkin merupakan faktor presipitasinya. (Kamus Kedokteran Dorland)
Tanda-Tanda Marasmus:
1.    Berat badan sangat kurang
2.    Terlihat sangat kurus
3.    Wajah seperti orang tua
4.    Tinggal kulit pembungkus tulang
5.    Muscle wasting
6.    Baggy pant
(Tim Field Lab FK UNS, 2010)
KEP Sesuai dengan kosa katanya bahwa kekurangan energi dan protein pada bayi disebabkan oleh masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhannya, yang disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait, diantaranya:
-    Masukan yang tidak adekuat. Hal ini dihubungkan dengan ketidakmampuan (kemiskinan), penyakit yang menyebabkan anorexia, prosedur di RS yang memuasakan bayi, dan tekanan psikologis.
-    Meningkatnya kebutuhan. Peningkatan kebutuhan energi umumnya dikarenakan infeksi, demam, trauma, neoplasma, hipertiroid dan distress pada jantung dan pernafasan.
-    Menurunnya retensi energi.
-    Meningkatnya energi yang terbuang. Hal ini dapat disebabkan muntah, diare dan sindroma melabsorbsi juga menurunkan retensi energi.
((http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/marasmus-dan-kwashiorkor-sebagai-efek-dari-kep))

Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Terdapat beberapa tanda khusus pada marasmus ialah kurangnya (bahkan tidak ada) jaringan lemak di bawah kulit, Sehingga seperti bayi yang memakai pakaian yang terlalu besar ukurannya. Selain itu terdapat pula beberapa tanda khusus bayi terkena marasmus, diantaranya:
-    Bayi akan merasa lapar dan cengeng.
-    Wajahnya tampak menua (old man/monkey face).
-    Atrofi jaringan, otot lemah terasa kendor/lembek ini dapat dilihat pada paha dan pantat bayi yang seharusnya kuat dan kenyal dan tebal.
-    Oedema (bengkak) tidak terjadi.
-    Warna rambut tidak berubah.
Pada marasmus tingkat berat, terjadi retardasi pertumbuhan, berat badan dibanding usianya sampai kurang 60% standar berat normal. Sedikitnya jaringan adipose pada marasmus berat tidak menghalangi homeostatis, oksidasi lemak tetap utuh namun menghabiskan cadangan lemak tubuh. Keberadaan persediaan lemak dalam tubuh adalah faktor yang menentukan apakah bayi marasmus dapat bertahan/survive
(http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/marasmus-dan-kwashiorkor-sebagai-efek-dari-kep)

Asi ekslusif  Pemberian ASI eksklusif berarti memberikan hanya ASI saja. Ini berarti bayi tidak diberi air putih, teh, minuman ramuan, cairan lain, maupun makanan selama 6 bulan pertama usianya. (Penting untuk menyebutkan jenis minuman dan makanan yang biasa diberikan dalam 6 bulan pertama. Dalam sebuah program ditemukan bahwa ibu-ibu menganggap pesan “jangan memberi cairan” tidak berlaku untuk teh/minuman herbal atau cairan lain).
(http://www.linkagesproject.org/media/publications/ENA-References/Indonesia/Ref4.7%20.pdf)

Intoleransi laktosa
Enzim laktase yang berfungsi memecah gula susu (laktosa) terdapat di mukosa usus halus. Enzim tersebut bekerja memecah laktosa menjadi monosakarida yang siap untuk diserap oleh tubuh yaitu glukosa dan galaktosa. Apabila ketersediaan laktase tidak mencukupi, laktosa yang terkandung dalam susu tidak akan mengalami proses pencernaan dan akan dipecah oleh bakteri di dalam usus halus. Proses fermentasi yang terjadi dapat menimbulkan gas yang menyebabkan kembung dan rasa sakit di perut.
Sedangkan sebagian laktosa yang tidak dicerna akan tetap berada dalam saluran cerna dan tidak terjadi penyerapan air dari faeses sehingga penderita akan mengalami diare.
Menurut the World Allergy Organization, reaksi sampingan non toksik terhadap makanan disebut hipersensitivitas, bukan alergi. Disebut alergi makanan jika mekanismenya melibatkan reaksi imunologi, yang dapat diketahui dengan pemeriksaan IgE. Adapun intoleransi makanan, merupakan hipersensitivitas non alergi terhadap makanan. Frekuensi kejadian intoleransi laktosa pada ras Kaukasia lebih sedikit/jarang dibandingkan pada orang Asia, Afrika, Timur Tengah, dan beberapa Negara Mediterania, dan juga pada ras Aborigin Australia. Lima persen dari ras Kaukasia dan 75% dari yang bukan ras Kaukasia yang tinggal di Australia mengalami intoleransi laktosa.
(http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0108.pdf)


Pencegahan KEP KEP disebabkan oleh multifaktor yang saling terkait sinergis secara klinis maupun lingkungan (masyarakat). Pencegahan hendaknya meliputi seluruh faktor secara simultan dan konsisten. Meskipun KEP tidak sepenuhnya dapat diberantas, tanpa harus menunggu, dapat segera dilaksanakan beberapa tindakan untuk mengatasi keadaan :
1.    Mengendalikan penyakit-penyakit infeksi, khususnya diare:
-    Sanitasi : personal, lingkungan terutama makanan dan peralatannya.
-    Pendidikan : Dasar, Kesehatan dan Gizi.
-    Program Imunisasi.
-    Pencegahan penyakit yang erat dengan lingkungan, seperti TBC, nyamuk (malaria, DHF), parasit (cacing).
2.    Memperkecil dampak penyakit-penyakit infeksi terutama diare di wilayah yang sanitasi lingkungannya belum baik. Diarhea merupakan penyakit endemo-epidemik yang menjadi salah satu penyebab bagi malnutrisi. Dehidrasi awal dan re-feeding secepat mungkin merupakan pencegahan untuk menghindari bayi malnutrisi/KEP.
3.    Deteksi dini dan manajemen KEP awal/ringan:
-    Memonitor tumbuh kembang dan status gizi Balita secara kontinyu, misalnya dengan tolok ukur KMS.
-    Perhatian khusus untuk faktor “risiko tinggi” yang akan berpengaruh kelangsungan status gizi (antara lain: kemiskinan, ketidak tahuan, adanya penyakit infeksi).
4.    Memelihara status gizi anak
-    Dimulai sejak dalam kandungan, ibu hamil dengan gizi yang baik diharapkan akan melahirkan bayi dengan status gizi yang baik pula.
-    Setelah lahir segera diberi ASI eksklusif sampai usia 4 atau 6 bulan.
-    Pemberian makanan pendamping ASI (weaning food) bergizi, mulai usia 4 atau 6 bulan secara bertahap sampai anak dapat menerima menu lengkap keluarga.
-    Memperpanjang masa menyusui (prolong lactation) selama ibu dan bayi menghendaki.
(WHO Geneva 1976: 45-46)
(http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/marasmus-dan-kwashiorkor-sebagai-efek-dari-kep)



Intervensi pada penderita marasmus
1.    Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang). (Wong, 2004)
Tujuan :
    Pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil    :
    meningkatkan masukan oral.
Intervensi     :
a.    Dapatkan riwayat diet
b.    Dorong orangtua atau anggota keluarga lain untuk menyuapi anak atau ada disaat makan
c.    Minta anak makan dimeja dalam kelompok dan buat waktu makan menjadi menyenangkan
d.    Gunakan alat makan yang dikenalnya
e.    Perawat harus ada saat makan untuk memberikan bantuan, mencegah gangguan dan memuji anak untuk makan mereka
f.    Sajikan makansedikit tapi sering
g.    Sajikan porsi kecil makanan dan berikan setiap porsi secara terpisah


2.    Defisit volume cairan berhubungan dengan diare. (Carpenito, 2001:140)
Tujuan :
        Tidak terjadi dehidrasi
Kriteria hasil :
            Mukosa bibir lembab, tidak terjadi peningkatan suhu, turgor kulit baik.
Intervensi    :
a.    Monitor tanda-tanda vital dan tanda-tanda dehidrasi
b.    Monitor jumlah dan tipe masukan cairan
c.    Ukur haluaran urine dengan akurat

3.    Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik. (Doengoes, 2000).
Tujuan :
        Tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil :
        kulit tidak kering, tidak bersisik, elastisitas normal
Intervesi    :
a.    Monitor kemerahan, pucat,ekskoriasi
b.    Dorong mandi 2xsehari dan gunakan lotion setelah mandi
c.    Massage kulit Kriteria hasilususnya diatas penonjolan tulang
d.    Alih baring
4.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh
Tujuan    :
    Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
Kriteria hasil:
    suhu tubuh normal 36,6 C-37,7 C,lekosit dalam batas normal
Intervensi    :
a.    Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b.    Pastikan semua alat yang kontak dengan pasien bersih/steril
c.    Instruksikan pekerja perawatan kesehatan dan keluarga dalam prosedur kontrol infeksi
d.    Beri antibiotik sesuai program

5.    Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi (Doengoes, 2004)
Tujuan :
    pengetahuan pasien dan keluarga bertambah
Kriteria hasil:
    Menyatakan kesadaran dan perubahan pola hidup,mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala.
Intervensi    :
a.    Tentukan tingkat pengetahuan orangtua pasien
b.    Mengkaji kebutuhan diet dan jawab pertanyaan sesuai indikasi
c.    Dorong konsumsi makanan tinggi serat dan masukan cairan adekuat
d.    Berikan informasi tertulis untuk orangtua pasien

6.    Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnyakemampuan fisik dan ketergantungan sekunder akibat masukan kalori atau nutrisi yang tidak adekuat. (Carpenito, 2001:157).
Tujuan :
    Anak mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya.
Kriteria hasil    :
Terjadi peningkatan dalam perilaku personal, sosial, bahasa, kognitif atau aktifitas motorik sesuai dengan usianya.
Intervensi    :
a.    Ajarkan pada orangtua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia.
b.    Kaji tingkat perkembangan anak dengan Denver II
c.    Berikan kesempatan bagi anak yang sakit memenuhi tugas perkembangan
d.    Berikan mainan sesuai usia anak.


7.    Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen sekunder akibat malnutrisi. (Carpenito, 2001:3)
Tujuan :
     Anak mampu beraktifitas sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil    :
    Menunjukkan kembali kemampuan melakukan aktifitas.
Intervensi    :
a.    Berikan permainan dan aktifitas sesuai dengan usia
b.    Bantu semua kebutuhan anak dengan melibatkan keluarga pasien
8.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan rendahnya masukan protein (malnutrisi). (Carpenio, 2001:143).
Tujuan :
    Kelebihan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil        :
    Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan metode-metode pencegahan edema, memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral.
Intervensi    :
a.    Pantau kulit terhadap tanda luka tekan
b.    Ubah posisi sedikitnya 2 jam
c.    Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan.

(www.akpergapu-jambi.ac.id/Askep_Anak/8.%20Marasmus.doc)










BAB III
PEMBAHASAN

Bayi diare setelah diberi susu formula
Di dalam susu dan produk susu lainnya terkandung komponen gula atau karbohidrat yang dikenal dengan laktosa (gula susu). Pada keadaan normal, tubuh dapat memecah laktosa menjadi gula sederhana dengan bantuan enzim laktase.Enzim laktase yang berfungsi memecah gula susu (laktosa) terdapat di mukosa usus halus. Enzim tersebut bekerja memecah laktosa menjadi monosakarida yang siap untuk diserap oleh tubuh yaitu glukosa dan galaktosa. Apabila ketersediaan laktase tidak mencukupi, laktosa yang terkandung dalam susu tidak akan mengalami proses pencernaan dan akan dipecah oleh bakteri di dalam usus halus. Proses fermentasi yang terjadi dapat menimbulkan gas yang menyebabkan kembung dan rasa sakit di perut. Sedangkan sebagian laktosa yang tidak dicerna akan tetap berada dalam saluran cerna dan tidak terjadi penyerapan air dari faeses sehingga penderita akan mengalami diare.
Umumnya bayi yang mengalami intoleransi laktosa ini mengalami mual dan muntah-muntah saat pertama kali menggunakan susu formula, hal ini dikarenakan umumnya susu formula mengandung laktosa lebih tinggi dari ASI sehingga tubuh bayi tidak bisa menerimanya , hal ini dapat dapat diatasi dengan menggunakan susu rendah laktosa. Bayi tidak mengalami mual dan muntah saat mengkonsumsi air tajin, karena air tajin tidak mengandung laktosa.

Badan kurus, tulang tampak menonjol, wajah seperti orang tua, rambut hitam tipis mudah rontok, nampak cengeng dan belum dapat tengkurap
Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Badan kurus terjadi karena hilangnya masa otot akibat katabolisme dan deplesi kompartment protein somatik. Hal ini merupakan respon adaptasi yang berfungsi menyediakan asam amino sebagai sumber energi bagi tubuh. Selain protein otot lemak subkutis juga dimobilisasi dan digunakan sebagai bahan bakar. Dengan lenyapnya otot dan lemak subkutis ektremitas tampak kurus. Bayi nampak cengeng karena defisiensi kekebalan terutama imunitas yang diperantarai oleh sel T. Oleh karena itu biasanya bayi tersebut juga menderita infeksi yang menimbulkan stress tambahan pada tubuh yang telah lemah.


Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi dalam beberapa tahap. Tahap awal yaitu 24-48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan intravena.
Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak memerlukan koreksi cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai dengan penyesuaian terhadap pemberian makanan. Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini dinaikkan secara berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg BB/hari dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari.
Antibiotik perlu diberikan, karena penderita marasmus sering disertai infeksi. Pilihan obat yang dipakai ialah procain penicillin atau gabungan penicilin dan streptomycin.
Hal-hal yang lain perlu diperhatikan :
a) Kemungkinan hipoglikemi dilakukan pemeriksaan dengan dextrostix. Bila kadar gula darah kurang dari 40% diberikan terapi 1-2 ml glukose 40%/kg BB/IV
b) Hipotermi
Diatasi dengan penggunaan selimut atau tidur dengan ibunya. Dapat diberikan botol panas atau pemberian makanan sering tiap 2 jam.
Pemantauan penderita dapat dilakukan dengan cara penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan serta tebal lemak subkutan. Pada minggu-minggu pertama sering belum dijumpai pertambahan berat badan. Setelah tercapai penyesuaian barulah dijumpai pertambahan berat badan. Penderita boleh dipulangkan bila terjadi kenaikan sampai kira-kira 90% BB normal menurut umurnya, bila nafsu makannya telah kembali dan penyakit infeksi telah teratasi.
Penderita yang telah kembali nafsu makannya dibiasakan untuk mendapat makanan biasa seperti yang dimakan sehari-hari. Kebutuhan kalori menjadi normal kembali karena tubuh telah menyesuaikan diri lagi. Sementara itu kepada orang tua diberikan penyuluhan tentang pemberian makanan, terutama mengenai pemilihan bahan makanan, pengolahannya, yang sesuai dengan daya belinya.
Mengingat sulitnya merawat penderita dengan malnutrisi, maka usaha pencegahan perlu lebih ditingkatkan.

Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilaksanakan dengan baik bila penyebab diketahui.Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi. Diantaranya adalah pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi yang paling baik untuk bayi, ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur 6 tahun ke atas, pencegahan penyakit infeksi (dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan), pemberian imunisasi, mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu kerap, penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat merupakan usaha pencegahan jangka panjang, pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita didaerah yang endemis kurang  gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.


BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Marasmus adalah salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemui pada balita terutama di daerah perkotaan. Penyebabnya merupakan multifaktorial antara lain masukan makanan yang kurang, faktor penyakit dan faktor lingkungan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan untuk menentukan penyebab perlu anamnesis makanan dan penyakit yang lalu. Pencegahan terhadap marasmus ditujukan pada penyebab dan memerlukan pelayanan kesehatan dan penyuluhan yang baik. Pengobatan marasmus ialah pemberian diet, tinggi kalori dan tinggi protein, dan penatalaksanaan di rumah sakit dibagi atas tahap awal, tahap penyesuaian, dan rehabilitasi.
B.    Saran
1.    Orang tua diharapkan lebih memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak
2.    Lebih baik orang tua memberikan asupan makanan yang cukup gizi bagi anak.
3.    Berikan anak imunisasi pada waktu yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

    Kamus Kedokteran Dorland edisi 31.
    Tim Field Lab FK UNS. 2010. Manual Field Lab Ketrampilan Pemantauan Status Gizi Balita dan Anemia Gizi Ibu Hamil edisi revisi. Surakarta: Tim Field Lab FK UNS.
InfoPOM. 2008. Kenali Intoleransi Laktosa lebih Lanjut. (http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0108.pdf).

Lubis, Nuchsan Umar dan Arlina Yunita Marsida. 2002. Penata Laksanaan Busung Lapar pada Balita. (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_134_masalah_anak.pdf).
Kumar; Cotran; Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7 volume 1. Jakarta: EGC.
www.akpergapu-jambi.ac.id/Askep_Anak/8.%20Marasmus.doc
Dinas Kesehatan Kota Surabaya.  Marasmus dan Kwashiorkor Sebagai Efek Dari KEP (http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/marasmus-dan-kwashiorkor-sebagai-efek-dari-kep)

Linkage. Oktober 2002. Pemberian ASI Eksklusif atau ASI saja : Satu-Satunya Sumber Cairan Yang Dibutuhkan Bayi Usia Dini (http://www.linkagesproject.org/media/publications/ENA-References/Indonesia/Ref4.7%20.pdf)

Selasa, 23 November 2010

laporan tutorial toxoplasma gondii


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Toxoplasma gondii adalah parasit yang jika menginfeksi pada awal kehamilan dapat ditransmisikan ke janin. Janin yang terinfeksi dalam kandungan dapat menunjukkan gejalan klinis ketika lahir, misalnya, hidrosefalus. Namun, suatu studi multisenter tentang Toxoplasmosis congenital di Eropa menemukan bahwa tidak semua bayi dengan Toxoplasmosis congenital menunjukkan gejalan klinis. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada factor lain termasuk predisposisi genetic berperan dalam pathogenesis. Sebelumnya telah diketahui bahwa bayi yang menunjukkan gejala klinis lebih berat adalah mereka yang terinfeksi Toxoplasma gondii pada awal kehamilan, ketika system imunitas fetus belum begitu berkembang. Pemeriksaan molecular yang dilakukan selanjutnya menemukan bahwa ada kaitan antara polymorphism dan genomic imprinting dengan gambaran klinis yang muncul pada bayi dengan toxoplasmosis congenital.

B.     Rumusan Masalah:
1.         Janin yang terinfeksi dalam kandungan dapat menunjukan gejala klinis ketika lahir, misalnya hidrosefalus.
2.         Dugaan ada faktor lain termasuk predisposisi genetik berperan dalam patogenesis penyakit.
3.         Tidak semua bayi dengan toxoplasmosis kongenital menunjukkan gejala klinis.
4.         Ada kaitan antara polymorfisme dan genomic imprinting dengan gambaran klinis.
5.         Toxoplasma gondii dapat ditransmisikan pada janin.
6.         Gejala toxoplasmosis beraneka ragam.
C.    Tujuan
1.      Memahami patologi dan patofisiologi dari toxoplasmosis
2.      Memahami peran genetik dalam kasus toxoplasmosis
3.      Memahami genome imprinting dan polymorphism
4.       Memahami pencegahan toxoplasmosis
D.    Manfaat Penulisan
Mahasiswa dapat mempelajari dan mengetahui peran epigenetic dalam kasus toxoplasmosis



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Toxoplasmosis adalah infeksi pada manusia atau hewan lain akibat protozoa toxoplasma gondii, ditularkann melalui ookista di dalam feses kucing (penjamu definitif), biasanya melalui tanah yang terkontaminasi, pajanan langsung pada feses, kista jaringan didalam daging yang terinfeksi, atau tachyzoite di dalam darah. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat asimptomatis, tetapi bila menjadi simptomatis gejalanya berkisar dari penyakit ringan menyerupai mononukleosis sampai penyakit fulminan diseminata (biasanya pada pasien dengan tanggap imun yang lemah atau janin yang terinfeksi secara transplasenta) yang dapat menyebabakan  kerusakan otak, mata, otot rangka dan jantung, hati dan paru yang luas. (Kamus Kedokteran Dorland edisi 31)

Epigenetik . At its most basic, epigenetics is the study of changes in gene activity that do not involve alterations to the genetic code but still get passed down to at least one successive generation. These patterns of gene expression are governed by the cellular material — the epigenome — that sits on top of the genome, just outside it (hence the prefix epi-, which means above). It is these epigenetic "marks" that tell your genes to switch on or off, to speak loudly or whisper. It is through epigenetic marks that environmental factors like diet, stress and prenatal nutrition can make an imprint on genes that is passed from one generation to the next.
Pada dasarnya , epigenetic adalah studi yang tidak berhubungan dengan perubahan pada kode genetik namun tetap diturunkan pada paling tidak satu generasi berikutnya. Pola ekspresi genetic ini diatur oleh material selular- epigenome- yang berada di atas genome, tepat di bagian luarnya ( memiliki   imbuhan depan epi- yang berarti di atas), pola genetic ini memberitahu genmu untuk menyala dan mematikan diri, untuk berbicara lebih keras atau berbisik. Tanda-tanda epigenetic dipengaruhi oleh lingkungan seperti diet, stress, dan nutrisi saat hamil, hal-hal ini dapat membuat pencetakan pada gen yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Genomic imprinting adalah perbedaan ekspresi sebuah gen pada seorang anak, bergantung pada orang tua dari mana alel tersebut berasal. (Sylfia A.Price, 2006)
Polimorfisme yaitu adanya berbagai bentuk alelik sebuah gen (Robbins, 2007)
Genetic polymorphism, dibagi menjadi
a.       Balance p. : keadaan keseimbangan dengan polimorpisme genetic yang dipertahankan dengan keseimbangan antara mutasi dan seleksi, lokus yang heterozigot memiliki keunggulan dibanding homozigot.
b.      Genetic p. peristiwa yang berlangsung lama dalam populasi atau alel alternative multiple pada lokus, frekuensi jauh lebih jarang daripada yang dapat dipertahankan oleh mutasi berulang secara tersendiri
c.       Microsatelit p. : terdapatnya berbagai unit pengulangan, tandem dimikrosatelit pada beberapa individu yang berbeda ; hal ini dapat dideteksi menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan digunakan secara luas sebagai penanda seperti pada studi pemetaan dan hubungan genetic, penggujian paternitas dan kekerabatan, identifikasi forensic dan analisis populasi, disebut juga short tandem repeat p.
d.      Restristion fragment length p. (RFLP) : polimorpisme genetic pada sekuens DNA yang dapat dideteksi berdasarkan perbedaan panjang fragmen DNA yang dihasilkan dari pencernaan dengan endonuklease restriksi yang spesifik.
e.       Single nucleotide p. :Polimorpisme mekanis genetic antara dua genom akibat delesi, insersi, ato pertukaran nukleotida tunggal
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 31)















BAB III
PEMBAHASAN


Berdasar hasil diskusi yang kami laksanakan, toxoplasmolisis bisa diderita oleh seorang melalui dua cara yakni kongenital dan aquisital. Sebagian besar dari penderita toxoplasmosis tidak menunjukkan gejala klinis (asimptomatis). Pada scenario ini terdapat kasus toxoplasmosis congenital.  Selain factor parasit, toxoplasmosis congenital ini juga dipengaruhi oleh factor-faktor epigentik seperti pengaruh metilasi DNA, yang dimaksud metilasi DNA adalah penambahan gugus metil pada segmen DNA tertentu (umumnya basa nukleotida G dan C) , yang menyebabkan perubahan ekspresi DNA (peristiwa on-off DNA), dikarenakan saat terjadi metilasi, agen-agen translasi dan transkripsi tidak dapat mengenali segmen DNA tersebut, sehingga asam amino yang ditranslasikan berbeda dan merubah protein yang dihasilkan.
Toxoplasmis kongenital adalah penyakit yang timbul karena invasi toxoplasma gondii pada saat kehamilan terjadi. Gejala-gejala klinis yang timbul pada penderita toxoplasmosis kongenital adalah sebagai berikut:
a.       Pada ibu
Umumny gejala pada wanita hamil dapat bersifat sementara dan tidak spesifik, gejalan yang muncul biasanya terbatas pada lumfadenopati dan kelelahan, atau demam, malaise, tenggorokan gatal, nyeri kepala, mialgia, dan limfositosis atipikal.
b.      Pada anak
Kebanyakan anak dengan toxoplasmosis kongenital tidak menunjukkan gejala atau kelainan nyata pada saat lahir. Namun secara umum manisfestasi klinis dari toxoplasmosis dibagi menjadi 2, yaitu manisfestasi sistemik meliputi demam, hepatosplenomegali, anemia, serta pneumonitis yang terjadi karena adanya parasit. Sedangkan manisfestasi neurologik seperti korioretinitis, hidrosefalus, serta serangan kejang, yang terjadi karena invasi parasit melewati barrier otak, maupun deposit dari kista parasit di jaringan otak

Diagnosis pada penderita toxoplasmosis adalah dengan pemeriksaan serologis, untuk mendeteksi antibody terhadap toxoplasma, Terdapat berbagai tes serologis yang bermakna untuk antibodi terhadap T.gondii seperti tes Sabin-Feldman, Indirect Fluorescent Antibody (IFA), dan ELISA. IFA dan ELISA digunakan untuk mengukur kadar antibodi IgM. Deteksi antibodi IgA, dilaporkan baru-baru ini lebih sensitif daripada deteksi antibodi IgM anti-P30 dalam mengidentifikasi infeksi kongenital pada infant. Antibodi IgM anti-Toxoplasma dapat muncul pada waktu lahir maupun pada bulan-bulan selanjutnya. Titer antibodi Toxoplasma yang negatif pada usia 6 bulan sampai 1 tahun secara esensial menyingkirkan diagnosa toxoplasmosis kongenital. IgG spesifik dalam serum bayi berasal dari ibu menurun 50% setiap bulan, tetapi dapat menetap sampai bayi berumur 1 tahun. IgG mulai mulai disintesa pada umur 3 bulan pada bayi yang mendapat pengobatan.



BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Pengaruh toxoplasma terhadap tubuh, tidak hanya dipengaruhi oleh factor parasit tetapi juga dipengaruhi oleh factor epigenetika.
B. Saran
1. Pada masa kehamilan , sebaiknya ibu hamil menghindari kucing, bila belum memiliki antibody utk melawan toxoplasma gondii
2. Lakukan pemeriksaan prenatal untuk memastikan kesehatan janin

DAFTAR PUSTAKA
Kamus Kedokteran Dorland edisi 31.
Kumar; Cotran; Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7 volume 1. Jakarta: EGC.
Prience, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 6 vol1. Jakarta:EGC.

Why Your DNA Isn't Your Destiny By John Cloud


EPIDEMIOLOGI “TOXOPLASMA GONDII”
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3733/1/fkm-indra%20c4.pdf